Widget HTML Atas

Harga Tanaman Hias Janda Bolong melambung. Apakah ini Fenomena "Monkey Business"


Hari-hari belakangan ini tanaman hias Janda Bolong, tiba-tiba begitu populer dan membuat harganya melambung tinggi, gila-gilaan.

Di beberapa tempat, harga tanaman asal Amerika Selatan yang bernama latin Monstera ini dihargai jutaan bahkan ada yang sampai terjual di harga 250 juta rupiah.

Ini adalah harga yang tidak masuk akal, mengingat perawatan dan cara pembudidayaan tanaman hias ini tidak terlalu rumit, seperti sebut saja misalnya tanama bonsai atau Anggrek Nongke Shenzhen yang hanya berbunga setiap empat sampai lima tahun sekali.

Keanehan seperti ini biasanya adalah ciri-ciri dari kehadiran “Monkey Business” alias bisnis monyet.

Bisnis monyet ini adalah sebuah istilah yang dipakai untuk sebuah bisnis tipu-tipu yang memanfaatkan histeria massa yang menghargai tinggi barang yang sebenarnya tidak berharga. Istilah bisnis moyet ini biasanya dikaitkan dengan cerita tentang seorang kaya yang membeli monyet-monyet yang tak ada harganya.

Dalam cerita itu dikisahkan satu kejadian di sebuah desa dimana seorang kaya raya mengumumkan akan membeli monyet, hama pengganggu yang memakan buah-buahan milik warga katakanlah seharga. 100,000,- per ekor.
Para penduduk desa yang menyadari bahwa banyak monyet disekitar desa kemudian mulai masuk ke hutan dan menangkapi hewan ini satu persatu.
Semua monyet yang ditangkap dibeli si orang kaya. Karena penangkapan besar-besaran akhirnya jadi langka, penduduk desa pun menghentikan usahanya untuk menangkapi monyet-monyet tersebut.

Maka si Orang Kaya menaikkan harga monyet jadi dua kali lipat, penduduk desa kembali bersemangat menangkapi monyet dan monyetpun semakin langka dan akhirnya makin sulit dicari dan penduduk kembali ke aktivitas lama, bertani.
Harga monyet sekarang jadi tiga kali lipat, monyet makin langka. Lalu orang kaya mengumumkan harga monyet naik 10 kali lipat, jadi 1 juta per ekor lalu dia pergi ke kota.

Saat dia ada di kota, datang orang lain yang menjual monyet seharga 700 ribu, orang mulai berhitung. Sekarang kita beli 700 ribu, nanti orang kaya ini balik kita bisa jual sejuta. Diboronglah monyet-monyet yang dijual orang ini.

Tapi, ketika semua monyet sudah habis terjual dan dimiliki para petani, si orang kaya tak pernah kembali dari kota dan monyet-monyetpun kembali ke khittahnya, sebagai hama yang tak berharga.

Fenomena bisnis monyet ini bukan sekali dua kali melanda Indonesia.

Yang pertama kali saya ingat, bisnis monyet yang sangat hit di Indonesia adalah ikan Lohan. Waktu itu harga ikan sejenis mujair ini bisa mencapai puluhan bahkan ratusan juta per ekornya. Tapi setelah hit sebentar, tiba-tiba ikan ini tak lagi berharga.

Kemudian, muncul tanaman “Gelombang Cinta” alias Anthurium. Tanaman inipun sama, dari yang biasanya hanya dijual seharga 10 ribu rupiah, tiba-tiba harganya melambung sampai puluhan bahkan ratusan juta. Di minati mulai kalangan bawah sampai public figure.

Salah seorang public figure yang ikut demam Anthurium pada saat itu adalah Rano Karno yang waktu itu sedang naik daun dengan sinetron seri “Si Doel Anak Sekolahan”

“Yang jual tanaman ini orang gila, dan kami yang membelinya lebih gila lagi,” kata Rano Karno dalam sebuah acara televisi, saat ditanyai kenapa dia tertarik membeli anthurium seharga ratusan juta.

Pada masa demam anthurium, harga tanaman ini bisa mencapai milyaran rupiah. Satu pot tanaman Anthurium bisa dijual untuk membeli sebuah rumah mewah. Tapi sekarang tanaman ini bisa dibeli di shopee seharga 40.000 – 60.000 rupiah.

Berikutnya ada demam love bird dan yang paling saya sayangkan batu akik yang sebenarnya bisa benar-benar berharga seperti yang dilakukan Thailand, tapi di sini akhirnya hanya jatuh menjadi bisnis monyet semata.

Demam bisnis monyet ini tidak hanya terjadi di Indonesia, beberapa abad yang lalu, ekonomi Belanda, negara penjajah Indonesia pernah goyang akibat demam bunga Tulip yang berasal dari Turki. Pada masa itu, satu butir bibit bunga tulip bisa dijual sampai senilai 40 tahun gaji minimum orang Belanda. Waktu itu, begitu banyak orang menguras tabungannya untuk diinvestasikan di bibit bunga tulip. Tapi, seperti layaknya bisnis monyet, ketika demamnya hilang, bibit bunga tulip itu kembali ke khittahnya, menjadi bunga biasa yang tidak benar-benar berharga.

Tapi memang daya tarik bisnis monyet ini luar biasa, karena yang disentuh adalah sifat serakah yang menjadi naluri primitif manusia.
Inilah yang membuat banyak dari kita tak pernah mau belajar dari fenomena yang terjadi sebelumnya, membuat kita jadi lebih bodoh daripada kedelai yang Cuma mau sekali terjatuh pada lobang yang sama.

Sifat ingin kaya dengan jalan pintas, tanpa perlu banyak usaha, membuat tidak sedikit dari kita yang mau mengambil resiko, menginvestasikan kekayaan yang didapat dengan susah payah pada sesuatu yang kemilau tapi belum terbukti berharga dalam waktu lama.

Padahal kalau mau sedikit saja berpikir, daripada berinvestasi pada Janda Bolong, tentu lebih baik berinvestasi pada kebun kopi, tanah, rumah atau kalaupun tanaman ya bonsai yang memang sudah jelas harganya.

Pada akhirnya, semua tergantung pada pribadi masing-masing mau tetap larut dalam histeria atau bersandar pada logika.